Index Internet Inklusif tempatkan Indonesia di ranking ke-66 dari 120 negara yang lain. Dari sisi aksesbilitas pada penyandang disabilitas, Indonesia memperoleh nilai 69,75 dan tidak penuhi standard Situs Konten Accessibility Guideline (WCAG). Beberapa gambar di web pemerintahan tidak diperlengkapi text alternative.
Permasalahan itu tidak cuma terjadi pada beberapa situs badan pemerintahan, tetapi juga web kampus. Sekitaran 95% web perguruan tinggi di Indonesia memiliki masalah dalam soal aksesbilitas pada penyandang disabilitas.
Penilaian itu baru terbatas pada penilaian aksesbilitas dari sisi tehnis. Tetapi saat secara tehnis web dan content digital masih memiliki masalah, karena itu dari sisi kebergunaannya (usability) masih tetap simpan ketimpangan antarpengguna yang bermacam sbobet88 casino.
Walaupun Indonesia sudah sepuluh tahun meratifikasi Pakta Hak Orang dengan Disabilitas Federasi Bangsa-Bangsa (UN CRPD) dan 5 tahun punyai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas, yang jamin hak aksesbilitas tehnologi info untuk golongan disabel, aksesbilitas web dan content digital untuk mereka masih tetap susah dan tidak ada.
Akses inklusif dan ketimpangan digital
Persoalan secara tehnologis itu cuman satu dari 4 segi pemicu ketimpangan digital pada penyandang disabilitas. Factor yang lain berbentuk factor sosial, motivasional, dan keuangan.
Disamping itu, factor peraturan juga berarti dalam dampaknya pada ketimpangan digital. Di beberapa negara berkembang, imbas ketimpangan digital pada wanita penyandang disabilitas makin jelek. Pemilikan gawai dan literatur wanita difabel benar-benar rendah bahkan juga dibanding lelaki difabel.
Di Indonesia, ketimpangan itu makin riil karena berkait kelindan antara beberapa faktor itu. Dengan cara sosial, penyandang disabilitas masih alami diskriminasi dan stigma.
Dari segi keuangan, tertimpangan kesejahteraan membayang-bayangi keberdayaan penyandang disabilitas. Sekitaran 82% penyandang disabilitas di negara berkembang hidup di bawah garis kemiskinan. Dari sisi peraturan, pengabaian akan keterkaitan penyandang disabilitas masih jelas. Cuma 14 dari 70 wilayah di Indonesia yang mengikutsertakan penyandang disabilitas dalam permufakatan gagasan pembangunan.
Secara tehnologis, penyandang disabilitas merasakan kendala yang bermacam. Beberapa website yang tidak bisa dibaca pembaca monitor (screen reader) secara baik dan beberapa video kementerian yang tidak sediakan ukurir (caption) atau juru bahasa sandi.
Aksesbilitas web dan content digital jadi keluh kesah barisan Tuli pada beberapa service khalayak yang semestinya bisa mereka akses.
Penyandang disabilitas netra memerlukan content digital yang bisa dibaca atau tersuarakan dengan screen reader atau penyesuai penampilan monitor (screen magnifier). Barisan Tuli memerlukan juru bahasa sandi, juru tulis, atau ukurir agar bisa ikuti kelas online.
Penyandang disabilitas daksa memerlukan content digital yang gampang dinavigasi tidak cukup dengan tetikus (mouse), tetapi juga papan tulis. Penyandang disabilitas psikis, psikososial, atau cendekiawan memerlukan plain teks atau alternative content yang cepat dan gampang dimengerti.
Aksesbilitas media evaluasi online di perguruan tinggi saat evaluasi online berjalan, berdasar survey Australia-Indonesia Research and Advocacy Network (AIDRAN), masih alami beragam permasalahan sebagai kendala untuk mahasiswa dengan disabilitas.
Pada tingkat pengajaran yang lebih rendah, aksesbilitas yang kurang mencukupi jadi permasalahan pada evaluasi jarak jauh.
Aksesbilitas info lepas dari perhatian Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam penyeluncuran Program Literatur Digital Nasional yang dituruti oleh warga di 514 kabupaten dan kota di 34 propinsi Indonesia. Tidak ada keterangan jika aktivitas disiapkan juru bahasa sandi hingga Tuli malas ikutinya.
Leave a reply
Для отправки комментария вам необходимо авторизоваться.